JAKARTA, KORASATU.ID – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga selaku Ketua Harian Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT TPPO) dalam laporannya mengawali Rapat Koordinasi (Rakor) Tingkat Menteri GT TPPO, mengatakan TPPO merupakan kejahatan transnasional yang bertentangan dengan harkat, martabat kemanusiaan, dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Sehingga dibutuhkan strategi pencegahan dan penanganan yang serius dan komprehensif oleh negara. Rapat koordinasi tingkat Menteri ini merupakan langkah strategis bersama dalam membahas dan menyikapi maraknya isu TPPO di Indonesia yang terorganisir dan begitu sistematis,” ungkap Menteri, Rabu (28/12/22).
Menteri Bintang menyampaikan, berdasarkan data yang tercatat di SIMFONI PPA, sepanjang 2017 hingga Oktober 2022, tercatat sebanyak 2.356 korban TPPO yang terlaporkan. Dari seluruh korban TPPO yang terlaporkan, terbesar terjadi pada anak-anak 50,97%, perempuan 46,14%, dan laki-laki 2,89%. Sejak tahun 2019 terjadi peningkatan jumlah korban TPPO yang terlaporkan, yaitu dari 226 pada 2019, menjadi 422 korban pada tahun 2020, dan 683 korban pada 2021. Sementara itu, selama periode Januari – Oktober 2022 telah terlaporkan 401 korban TPPO.
“Adanya kecenderungan meningkatnya korban TPPO yang terlaporkan setiap tahunnya, hal ini tentu harus menjadi perhatian bersama untuk dapat melakukan berbagai upaya dan strategi pencegahan dan penanganan TPPO. Apalagi, dengan semakin banyaknya modus-modus baru yang bermunculan dan kian kompleks, pencegahan dan penanganan TPPO harus menjadi fokus dan urgensi kita bersama,” tutur Menteri Bintang.
Lebih lanjut, Menteri Bintang mengemukakan, Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian serius dalam upaya pemberantasan kejahatan TPPO, salah satunya dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).
“Telah diterbitkan beberapa peraturan pengikat, diantaranya (1) PP Nomor 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi dan atau korban, (2) Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan, dan (3) Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2021 tentang standar operasional prosedur pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban TPPO,” ujarnya.
Dijelaskan Bintang, keberadaan UU, peraturan-peraturan terkait TPPO, serta GT PP TPPO merupakan bukti nyata keseriusan negara dalam melindungi setiap individu dari kejahatan TPPO.
“Adapun melalui GT TPPO, pada tahun 2022 telah disusun Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN PP TPPO) untuk mengintegrasikan program dan kebijakan terkait pencegahan dan penanganan TPPO melalui anggaran yang melekat pada alokasi anggaran Kementerian/Lembaga, sesuai dengan rencana aksi masing-masing,” jelas Bintang.
Sementara Menko Polhukam, Mahfud MD, mengungkapkan pertemuan ini langkah awal bagi GT PP TPPO untuk memetakan dan menelaah berbagai macam permasalahan terkait TPPO yang dihadapi oleh setiap Kementerian/ Lembaga, serta meningkatkan produktivitas dari kinerja GT PP TPPO dalam percepatan pencegahan dan penanganan TPPO.
“Kejahatan TPPO ini merupakan kejahatan serius dan luar biasa menyangkut pada kemanusiaan dan martabat bangsa. Perlu koordinasi, sinergi, dan kerja konkrit dari GT PP TPPO untuk memastikan bahwa pembagian tugas dalam upaya pencegahan dan penanganan TPPO ini berjalan sesuai dengan fungsinya,” ucapnya.
“Banyak sekali kasus dan jenis-jenis pelanggaran TPPO ditemui di ranah hukum dan HAM, terutama melalui imigrasi dan urusan VISA, dimana dengan mudahnya organisasi dan sindikat TPPO memasukkan juga mengeluarkan orang secara ilegal,” sambung Mahfud MD.
Mahfud MD menegaskan, dengan peningkatan kasus TPPO setiap tahunnya, maka pencegahan harus menjadi fokus utama karena penindakan lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pencegahan. Kasud ini merupakan kejahatan yang dilakukan secara terencana dan kerap kali adanya keterlibatan oknum-oknum di dalam suatu institusi pemerintah.
“Banyak kasus-kasus dimana korban TPPO diperlakukan tidak layak, kadang kala ada yang menjadi awak kapal tidak merasakan sinar matahari selama enam bulan, setelah itu jika mereka gugur di tengah lautan, jasad di buang ke laut begitu saja. Oleh karena itu, setiap anggota GT PP TPPO perlu memastikan permasalahan yang di hadapi di masing-masing instansi agar kita dapat memetakan langkah selanjutnya,” pungkasnya. (Guffe)