Diperbatasan antara Kecamatan Tumbang Titi – Kecamatan Jelai Hulu, 126 Km dari Ibukota Kabupaten Ketapang, berjarak 38 Km dari Ibukota Kecamatan Jelai Hulu Ketapang Kalimantan Barat. Terdapat Kampung Desa Pasir Mayang. Didesa terpencil Pelosok jauh dari keramaian, hiruk-pikuk dan Gemerlap, berdiam Y. B.Wiranto Dwijo Pranoto adalah seorang kakek tua yang berumur 70 tahun. Beliau memiliki 1 istri dan mempunyai 5 anak, 3 putra dan 2 Putri. Kelima anaknya sudah menjalani hidup masing-masing, 4 orang menikah 1 orang menjadi Imam Pastor Katolik, sehingga dirumah sudah hidup sebatang kara.
Diusia yang sudah renta beliau masih bisa berjalan jauh dengan menggunakan Kendaraan bermotor setiap bulan ke ibukota kabupaten ketapang, Saat ini beliau sudah menjalani masa Pensiunan. Dari nama sudah Nampak bahwa Kakek ini bukan asli orang Kalimantan, benar beliau asal Jawa,tepatnya kelahiran Seketi Muntilan Magelang Jateng.kakek tua yang masih energik ini kerap kali di Panggil Mbah Wir, mantan Guru SD , walau dari jawa hinnga pensiun merasa nyaman dan Damai berdiam di Pasir Mayang yang Merupakan Kampung Kecil.
Apa yang membuat seorang Mbah Wir tetap bertahan di Kampung Pasir Mayang dan bagaimana lika liku perjalan hidunya hingga mengabdi menjadi perantau Abadi dan Guru Teladan.Kita simak cuplikan kisahnya yang nyata, heroic dan penuh inspirasi. Keseharian yang dilakukan setelah Pensiun tepatnya November 2013, Berkebun di lahan samping rumah tinggalnya.yang meruapakan kehobian selain membaca dan mendengarkan Wayang dan Musik. Mbah Wir memulai aktivitas mulai dari pagi hari selanjutnya memasak air, menyeduh Kopi namun akhir akhir ini lebih menikmati The Gopek Jawa, kemudian keluar rumah membersihkan Pekarangan rumah tinggal kemudian ke kebun semua ini untuk mengisi waktu, namun demikian hasil panen kebun cukup banyak, kadang hasil kebun oleh anaknya yang sudah berumah tangga lain namun ada di Kampung tersebut di jual.
Mbah Wir ada hal yang belum bisa dilakukan sendiri yaitu memasak makan Nasi sayur mayur apalagi Lauk dimana sejak berkeluarga tergantung pada Istri dan anak anak, sehingga saat sendiri kondisi ini sangat terasa. Sehingga saat siang kalau lapar, Mbah Wir harus berjalan menuju Rumah Anaknya sekitar 800 meter, dan ini dilakukan setiap hari Siang dan Malam, apabila Hujan atau anaknya tidak ada dirumah maka kalau terasa lapar Mbah Wir hanya merebus Mie Instan.
Mbah Wir yang dikalangan anak cucu dipanggil Mbah Kakung sangat inspiratif, Tauladan, disegenani, Bijaksana dan orang yang sederhana, Loyalitas tinggi terhadap tanggung jawab keluarga dan Tugas serta Gereja, satu kata yang pantas di sematkan sosok yang sempurna.
Mbah Wir ( Y.B. wiranto Dwijo Pranoto bergelar Sri) adalah anak ke 7 dari Seorang Lurah Raden Daroes Hadiatmodjo dan Ibu Rt. Theresia Biramsiti. Seketi Kelurahan Butuh (sekarang Desa Butuh). Walau dari kalangan Priyayi, Mbah Wir tampak sangat sederhana, Ramah, baik hati tidak sombong. Panjang cerita pak Wir sampai hidup jauh dari zona nyaman, saudara saudaranya tinggal di Pulau Jawa dan di Kota-kota. Berbanding terbalik dengan Pak Wir. Penasaran bagaimana hingga pak Wir sampai di sebuah Kampung yang jauh dari Keramaian?
Pak Wir Tamat SMP Persiapan Negeri Sawangan tahun 1969, melanjutkan ke SPG Van Lith Muntilan dan 1972 selesai ujian. Pak Wir pada akhir pendidikan SPG berangan-angan ingin merantau, apalagi pada Bulan November 1972, para Murid kelas III ditawarkan oleh Bruderan FIC yang berkarya dalam Bidang Pendidikan di Pedalaman Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat untuk mengabdi menjadi Guru di sekolah.
Dimana di ceritakan pada waktu itu sekolah Binaan Bruderan FIC yang berada di Pedalaman Ketapang ada SD Usaba Serengkah, SD Usaba Natai Panjang, SD Usaba Jungkal dan SD Pasir Mayang, hampir semua tenaga pendidik nya termasuk TPTB (Tenaga Pengajar Tidak Berwenang) dominan gurunya Tamatan SD, ST, SMEP, SMP, hanya ada beberapa yang Tamat SGB, SGA dan SPG, sehingga sangat dibutuhkan Tenaga Guru dari Tamatan SPG.
Demikian pak wir bercerita tentang perjuangan dengan semangat dan sambil mengingat ngingat. ” Mbah Wir melanjutkan ceritanya, dari cerita seorang Bruderan FIC yang berkarya di Ketapang, seingat saya Br. Alquino Bosko Sumitro, FIC ( asal Belanda) Awalnya saya dan Kastubi merasa tergerak hati untuk mengabdi ke Pulau Kalimantan yang sama sekali belum tahu.. Dan kami menemui Bruder Aristides, bahwa kami mau mengabdi jadi Guru setelah Lulus SPG.
Sambil menunggu panggilan dari Bruderan FIC, Mbah Wir di waktu senggang Matur (Ngomong) dengan saudaranya Hernanto yang waktu itu seorang Guru SD Soronalan, bahwa kalau saya lulus nanti mau merantau ke Kalimantan. Dijawab Sang abang “Nek aku mono Setuju-setuju bae, Kana Matura dhewe karo sibu (Kalau aku sih setuju setuju saja, sana ngomong sendiri dengan Ibu. Saya pun minta ijin kepada Ibu untuk merantau, awalnya Ibu sangat tidak setuju, namun berkat bantuan Abang (Mas Hernanto) dan Ipar (Mas Margono), akhirnya Ibu setuju juga. Dan Ibu meminta agar berpamitan dengan seluruh keluarga dan minta restu.
Pada hari dinanti tiba, tepatnya 14 Desember 1972, Saya (Mbah Wir) meninggalkan Rumah dan Keluarga dengan Penuh haru, dan tangisan air mata menetes tak terasa. Saya bersama ketiga teman (bersama A Kasihanto, Y. B Sumardi, F. A Kastubi) bersama berkumpul di asrama Van Lith Muntilan.sebelum Tanggal 23 Desember 1972 kami menuju Pelabuhan Tanjung Mas, kami naik Kapal Kayu/Kapal Dagang KM. Pedoman.
Kapal Pengangkut Sembako, barang kelontong Semarang – pontianak – Ketapang, meninggal kan pelabuhanTanjung Mas malam hari, menghantarkan kami menjauhi pulau Jawa, diterpa gelombang dan angin, membuat kami yang baru mengenal laut dan naik Kapal terkapar Mabuk, terkecuali Kastubi. Dan kami merayakan Natal ditengah laut lepas dalam kondisi Mabuk. Fajar 27 Desember 1972 , KMP Pedoman yang membawa kami memasuki Muara Sungai Kapuas, yang merupakan sungai terpanjang dan terbesar yang pernah di baca dalam cerita buku.
Dua hari kami di Pontianak, menanti Bongkar Muat Kapal, 29 Desember 1972 , deru Mesin KM Pedoman berbunyi dan Jangkar dilepas dari Pelabuhan Senghie Pontianak menuju Ketapang, 31 Desember 1972. Kapal bersandar di Pelabuhan Ketapang dan kami tiba di Ketapang,yang sangat jauh berbeda dengan keadaan di Kampung Halaman di Jawa. 21 hari dari Rumah kami baru sampai di Ketapang Kota. , Empat hari kami menginap di asrama WPK Ketapang sebelum berangkat ke tempat Tugas, yang menurut cerita guru yang sudah lebih dahulu berasa di Ketapang Pak Murdianto dengan bahasa Jawa mengatakan, ” Mengko kowe kuwi isih mudik (nyunsung kali) nganggo perahu cilik (perahu kelotok). Ngliwati alas, wong Tumbang titi ki nang hulu sungai. (Nanti kalian masih akan mudik menyusuri sungai Pesaguan dengan Perahu Kelotok, melewati hutan belantara, karena Tumbang Titi itu berada di hulu sungai Pesaguan).” kata Pak Murdianto bercerita.
Belum lagi cerita cerita yang menyeramkan yang diceritakan atau yang didengar tentang Kalimantan, tentang Suku, Budaya Adat istiadat. Membuat hati dan perasaan yang bergetar bercampur aduk. kalau batal malu, kalau lanjut ada rasa takut apa yang akan terjadi nanti ketika di tempat tugas, yang mayoritas dihuni suku Dayak yang berbeda bahasa dan budaya dengan saya. Baagaimana saya bergaul, makan minum, mau bicara bahasa sama sama asing dan baru mendengar, sementara Guru baru yang belum ada penghasilan.
Akhirnya saya mantapkan hati tetap melanjutkan berangkat ke Pasir Mayang tempat tugas. Tepat subuh hari 4 Januari 1972, motor kelotok sudah menanti kami untuk menghantar ke tempat tugas di pelosok kampung terpencil di Kampung Pasir Mayang. Namun ternyata dari Kota Ketapang menuju ke Pasir Mayang pada waktu itu, harus ditempuh mengunakan Kapal Kelotok menelusuri Sungai Pesaguan menuju Kampung Mambuk, selama satu hari, selanjutnya Berjalan Kaki Mambuk ke Tumbang Titi sekitar 5 Jam, pada saat berjalan kaki, tak terasa air mata saya menetes tah kapan terhenti teringat Orang Tua, sanak Saudara serta keluarga, belum lagi selama dari Motor Air hingga kami berjalan ini selama 2 Hari,kami tidak ada makan sebiji nasi Pun. Kami Lapar dan terlalu Lapar, dan kami ganjal dengan minum air tak kala melewati Sungai baru dafat makan setiba di Pastoran Tumbang Titi dan Kami menginap di Tumbang titi 4 Hari,
Perjuangan belum selesai, dari Tumbang Titi kami harus berjalan kaki lagi menuju Tempat Tugas, tepatnya 9 Januari 1972 Berbekal persekot gaji guru honor Rp.750,00. Kami berangkat berdua Kastubi berjalan kaki setelah di beri petunjuk oleh Br,Alquino , kami harus berjalan 22 Km lagi baru samapi ke Kampung Petebang tempat Tinggal
Sementara Kami bertugas. Dan dari Petebang ke sekolahan Pasir Mayang kami berjalan Kaki setiap Hari terkecuali Hari Minggu sejauh 6 Km dan ini di jalani selama 5 tahun kemudian pindah ke Kampung Benatu sekarang Desa Limpang Jaya, kembali ke Pasir Mayang, sejak itu bersama Istri kami membangun Rumah di Pasir Mayang dengan Gaya Rumah Jawa,walau pindah tugas hinnga Pensiun kami tetap tetap tinggal di Desa Pasir Mayang.
Mbah Wir memiliki sembilan Cucu dan dua Cicit, 50 Tahun sudah Mbah Wir hidup di Kalimantan,pahit manis, getar getir kehidupan sudah dilewati, Mbah Wir tetap disini. Mau kemana lagi, keadaan sudah begini, Rumah Tangga hidup sendiri, Anak menantu,cucu sudah hidup sendiri, menikmati hidup sendiri dimasa tua.
Sebuah permasalahan yang dihadapi ditanah Rantau jauh dari Ibu dan sanak Keluarga namun rasa akan teertutupi ketika berkumpul anak cucu cicit yang kita sayangi. Semua harus aku selesaikan dengan pikiranku sendiri , untuk lebih mandiri karena itu adalah pilihan.Namun sejauh mana selama mana pun kamu merantau tetap akan ingat kampong halaman dan kenangan masa kecil