JAKARTA, KORANSATU.ID- Wacana masa jabatan kepala desa selama sembilan tahun dalam RUU Desa dinilai merusak tatanan demokrasi akibat terlalu lamanya sirkulasi kepemimpinan selain berpotensi menciptakan pemerintahan yang koruptif di desa.
Demikian disimpulkan dalam disksui bertajuk “Apakah RUU Desa akan Membawa Kesejahteraan?” di Gedung DPR, Selasa (18/7). Turut jadi narasumber dalam diskusi itu Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Achmad Baidowi, Politisi PKS Mardani Ali Sera serta mantan Dirjen Ototomi Daerah Kemedagri Djohermasyah Djohan.
“Saya menilai UU Nomor VI/2014 tentang masa jabatan kepala desa enam tahun dan boleh tiga kali masa jabatan, yang sebelumnya selama dua kali, itu blunder. Ini akan menghambat sirkulasi kepemimpinan karena terlalu lama dalam masa jabatan,” ujar Djohermasyah Djohan.
Dia mengatakan semakin lama masa jabatan satu kepemimpinan maka akan ada kecenderungan koruptif. Sedangkan pada sisi lain hal itu akan menimbulkan tersendatnya kaderisasi kepemimpinan.
Lebih jauh dia menilai pemilihan kepala desa seharusnya tidak perlu seragam di seluruh Indonesia. Masa pemilihannya juga tidak harus serentak. Pasalnya, setiap desa memiliki karakter masing-masing selain punya kearifan lokal.
“Penyelenggaraan pemerintahan desa diatur cenderung seragam, padahal desa-desa beragam,” kata Djohermansyah. Selain itu dalam RUU Desa yang ada saat ini, ujarnya, penyelenggaraan pembangunan juga sangat teknokratis selain rumit dengan segala Peraturan Desa (Perdes) dan Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa (APBDes) yang ada.
Dia menyarankan agar pola “musyawarah untuk mufakat” dalam pemilihan kepala desa, seperti yang selama ini menjadi ciri khas di sejumlah daerah. Cara pemilihan itu bisa dijadikan sebuah pilihan dalam RUU Desa. Pasalnya, sistem pemilihan itu tidak menghabiskan banyak biaya selain tidak memecah-belah warga desa dalam kubu-kubuan.
Sementara itu, Achmad Baidowi mengakui bahwa permainan politik di desa akibat pemilihan langsung sangat berdampak pada keamanan hidup di desa. Dia mengatakan tidak jarang usai Pilkades dampak benturan sosial dan kerusuhan masih ada sekitar tiga sampai empat tahun untuk mencapai konsolidasi lagi.
Dia mencontohkan peristiwa terakhir di Kabupaten Bangkalan, Madura. Menurutnya, Pilkades terbaru di desa itu sampai menimbulkan gesekan sosial berupa kerusuhan.
“Bahkan sampai ada yang meninggal dan ada anggota DPRD yang diduga terlibat gara-gara mendukung salah satu calon kepala desa,” katanya. Dia menambahkan bahwa gesekan sosial dalam perhelatan Pilkades itu bukan hanya sekali dua kali, tapi terus berulang setiap terjadi pemilihan kepala desa. (John Andhi Oktaveri)