JAKARTA, KORANSATU.ID- Sistem ambang batas calon presiden (presidential threshold) dan kekuatan oligarki kapitalis di tubuh partai politik menjadi kendala utama munculnya calon presiden berkualitas dari seluruh pelosok Indonesia.
“Kita harus mengakhiri Undang-undang Pemilu, kita harus mengakhiri presidential threshold 20% dan juga parliamentary threshold,” ujar Fahri Hamzah mengomentari ambang batas bagi seseorang untuk maju menjadi calon presiden tersebut. Pernyataan itu disampaikannya dalam diskusi Dialektika Demokrasi yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Gedung DPR, Kamis (26/10/2023). Diskusi bertajuk “Peran DPR Mengawal Tahapan Pemilu Usai Pendaftaran Capres” tersebut menampilkan narasumber Anggota DPR RI Fraksi PKB Syaiful Huda, Waketum Partai Gelora Fahri Hamzah, dan Pengamat Politik Citra Institute, Yusak Farchan.
Menurutnya, seharusnya semua partai politik, baik besar maupun kecil, boleh mengajukan calon presiden tanpa harus mematuhi batasan angka tertentu. Semua orang harus bisa beradu gagasan untuk kebaikan bangsa tanpa harus dibatasi oleh kekuasaan di partai politik, katanya.
“Saya mimpi ingin ikut debat Capres, tapi tidak kesampaian. Padahal saya sudah buat partai dan babak belur. Semuanya tidak ada artinya karena sistem ini yang tidak memungkinkan orang seperti saya masuk, padahal saya punya mimpi ingin jadi presiden,” ujar tokoh politik asal Nusa Tenggara Barat itu.
Dia juga menyayangkan sistem seleksi kepemimpinan di tubuh parpol yang tidak sehat. Ada politisi yang sudah lama berkarir di partai politik, namun hanya karena kalah banyak uang, tidak bisa menampilkan dirinya sebagai calon pemimpin dari partainya, ujarnya.
Sementara itu, secara terpisah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Sultan B Najamudin mengungkap keprihatinannya pada komposisi calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilihan umum Presiden (Pilpres) Tahun 2024.
Menurutnya, para Capres-Cawapres yang diusung oleh para elit politik saat ini tidak mewakili realitas ke-Indonesiaan yang plural dan bisa dikatakan sangat Jawasentris.
“Kami menghormati hasil nominasi para capres dan cawapres oleh partai politik yang penuh dengan dinamika. Namun, Pertimbangan pada peta elektoral yang cenderung kualitatif ini, tidak sepenuhnya berdampak pada kualitas dan masa depan demokrasi Indonesia”, ujar Sultan melalui keterangan resminya.
Akibatnya, kata Sultan, timbul kecurigaan dan sikap saling tuduh antar elite. Ke depannya kita perlu mengubah pola nominasi capres dan cawapres agar menjadi lebih inklusif dan Indonesia sentris, tanpa mensyaratkan presidensial treshold.
“Dari sisi komposisi capres dan cawapres, Pilpres 2024 tidak banyak menyatukan dan mengkonsolidasikan gagasan dan potensi anak bangsa dari semua kalangan di daerah,” ujarnya. Karena itu dia mengakui sangat wajar jika koalisi yang dibangun parpol cenderung melihat sisi untung rugi politik dan dampaknya pada hasil pemilihan anggota legislatif, tegas mantan wakil gubernur Bengkulu itu.
Selain itu, Sultan juga mengkritisi pertimbangan politik elit yang hanya melihat variabel jumlah suara di beberapa provinsi di Pulau Jawa. Sehingga muncul istilah “battle ground” yang menjadi lokus pertempuran politik elektoral. (John Andhi Oktaveri)