JAKARTA, KORANSATU.ID- Indonesia dinilai perlu menerapkan sistem hukum yang berorientasi pada negosiasi antara penegak hukum dengan terdakwa yang mengakui kejahatannya agar hukumannya lebih ringan (plea bargaining) dan asetnya bisa dikembalikan ke kas negara.
Demikian kesimpulan dari diskusi Empat Pilar dengan tema “Polemik 349 T, Peran Legislator Ungkap Keadilan Sosial Demi Selamatkan Pajak Negara” yang diselenggarakan di Gedung DPR, Rabu (5/4). Tema diskusi itu dipilih terkait maraknya kasus kejahatan perpajakan dan transaksi mencurigakan akhir-akhir ini dengan menampilkan narasumber Wakil Ketua MPR Arsul Sani, Anggota MPR Kamrussamad dan Peneliti Ekonomi Nailul Huda dari INDEF.
Arsul Sani, yang juga ahli hukum pidana, menyatakan prihatin dengan merebaknya kejahatan perpajakan yang dikenal dengan “skandal 349 triliun” tersebut. Transaksi janggal sebesar Rp349 triliun itu terus menuai kritik dan polemik sejak dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Menurut Arsul, kasus yang melibatkan sejumlah instansi termasuk Kementerian Kuangan itu tidak terlepas dari sistem hukum kita yang masih bermasalah. Kondisi itu, ujarnya, juga tidak membuat jera pelaku kejahatan perpajakan yang merugikan keuangan negara.
Menurutnya, ketika ada skandal merugikan negara maka proses hukum pidana harus dijalankan dengan cepat, namun arahnya tidak melulu membuat orang dipenjara. Ahli hukum lulusan Inggris itu mengatakan tidak jeranya pelaku kejahatan keuangan negara adalah akibat hukuman yang selalu beroroentasi penjara. Padahal di penjara pelaku kejahatan itu sering mendapat diskon hukum dan keringanan lainnya.
“Kalau orang kita berpikir setiap pelaku kejahatan keuangan harus dipenjara seberat-beratnya. Bahkan dihukum mati,” ujarnya.
Dia menambahkan, harus ada aspek lain yang harus diperhatikan pada kasus yang merugikan keuangan negara, yakni pengembalian uang itu sendiri melalui sistem hukum plea bargaining.
“Jadi orientasi ini sudah harus diubah karena uang yang dikemblikan ke negara tidak banyak,” ujarnya.
Sementara itu, Kamrussamad mengatakan bahwa salah satu lemahnya sistem hukum di Indonesia sehingga mengakibatka kasus kejahatan keuangan negara meningkat adalah akibat integritas petugas pajak yang lemah.
Menurutnya, potensi korupsinya adalah bahwa ternyata oknum-oknum pegawai pajak menjadi konsultan di sejumlah perusahaan pembayar pajak. Selain itu, mereka, sebagaimana sudah diungkap ke publik, juga jadi pemilik atau pemegang saham di perusahaan konsultan pajak.
Akibatnya, ujar Kamrussamad, ketika ada masalah wajib pajak, mereka bisa mengatur atau mengganti konsultannya dan memakai konsultan lain sehingga terjadi persekongkolan pajak. (John)