Oleh :
RONI WAHYONO, SH MH.
Ketua DPD KAI Jawa Timur
BELAKANGAN ini Amaq Sinta, seorang Petani asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang ditetapkan sebagai tersangka karena aksi heroiknya melakukan perlawanan terpaksa melawan begal hingga menyebabkan tewasnya dua penjahat jalanan sedang menjadi perbincangan hangat.
Diceritakan Minggu (10/4/2022), Amaq Sinta menjadi korban pembegalan saat melintas di Jalan Raya Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah ketika hendak mengantar makanan dan air hangat untuk keluarga yang sedang menjaga sang ibu yang dirawat di rumah sakit di Lombok Timur;
Ironisnya, pembelaan terpaksa yang dilakukan Amaq Sinta bukan malah mendapatkan apresiasi telah membantu tugas polisi atau ikut berperan menjaga ketentraman, ketertiban dan keamanan masyarakat namun justru berujung nestapa berupa penetapan sebagai tersangka.
Polemik terkait penetapan Amaq Sinta sebagai tersangka bak bola salju, mengelinding makin tak terkendali, pasca dilakukannya jumpa pers di Mapolres Lombok Tengah pada Selasa lalu (12/4/2022), yang dipimpin oleh Wakapolres Lombok Tengah Kompol I Ketut Tamiana.
Tanggapan Wakapolres Lombok Tengah Kompol I Ketut Tamiana terhadap pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan awak media pada saat sesi tanya jawab, menuai beragam komentar dimana seolah-olah polisi berpihak pada penjahat jalanan dan sedang menafikkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam mengambil peran untuk ikut serta menjaga kamtibmas.
Bahkan di dunia maya bermunculan dan dipenuhi dengan meme dan parodi, seakan-akan hendak menyampaikan pesan satir nan getir, kalau masyarakat berhadapan dengan penjahat jalanan atau begal jangan melawan, serahkan saja harta berharga dan nyawa dengan sukarela, daripada nanti akan berhadapan dengan hukum.
Sampai-sampai Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto harus angkat bicara dan meminta Polda di Nusa Tenggara Barat (NTB), untuk menghentikan kasus korban begal tersebut.
“Saya kira, bila benar yang bersangkutan melakukan perlawanan atau pembelaan paksa, dalam artian bila tidak dilakukan bisa menjadi korban para pelaku, ya harus dilindungi,” kata Agus dikutip dari Kompas.com, Jumat (15/4/2022).
Multitafsir berkaitan dengan pembelaan terpaksa, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 49 KUHP, yang berujung Penetapan tersangka oleh kepolisian terhadap masyarakat yang melakukan pembelaan terpaksa terhadap begal memang bukan sekali ini saja terjadi.
Di Malang, ZL ( seorang pelajar SMA ), yang dihadang sejumlah begal di ladang tebu, yang tidak hanya akan merampas barang berharga dan sepeda motornya, namun juga hendak merenggut kehormatan kekasihnya, anak yang masih dibawah umur tersebut masda depannya terpaksa harus pasrah dengan vonis Pengadilan Negeri Kepanjen Kelas 1B, Malang dengan didakwa melanggar Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan menyebabkan seseorang meninggal dunia.
Nasib baik masih berpihak pada Mohamad Irfan Bahri, remaja asal Madura yang sedang menikmati masa liburannya di Bekasi, yang harus mengalami luka disekujur badan akibat sabetan celurit saat membela diri melawan begal di Flyover Summarecon Bekasi pada Rabu (23/05/2018). Walaupun awalnya sempat dijadikan tersangka, Namun tak lama statusnya dicabut dan Mohamad Irfan Bahri diperlakukan sebagai korban dan justru mendapat penghargaan oleh Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Pol Indarto bahkan saat itu sempat ditawarkan untuk menjadi polisi.
PEMBELAAN TERPAKSA
Adagium ‘ VIM VI REPELLERE LICET ’, menegaskan kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan, dan nanti negaralah lewat organ-organnya yang akan melakukan pembalasan ( baca : penegakkan hukum ).
Namun demikian Negara dalam hal ini polisi tidak mungkin senantiasa hadir scara serta merta pada saat masyarakat membutuhkan, sehingga terkadang dalam kondisi tertentu masyarakat dituntut menjadi “ polisi “ bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 KUHP, yang dikenal dengan pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces).
Terlepas hukum menyediakan alasan pemaaf dan alasan pembenar diatas, namun hal yang lebih patut untuk menjadi bahan renungan adalah bagaimana kepolisian mensikapi pembelaan terpaksa dalam konteks sebagai bentuk kesadaran dan sikap kepedulian masyarakat dalam mengambil peran untuk ikut serta menjaga dan menciptakan keamanan dan ketertiban.
Belajar dari yang pernah dilakukan oleh Kombes Pol Muhammad Iqbal, pada saat masih menjabat kapolrestabes Surabaya, Kamis (6/7/2017) di ruang kerjanya justru memberikan penghargaan khusus kepada Mayor Laut (P) Tunggul Waluyo, Perwira Staf Opsnal Seskopaska Pusdiksus Kodiklatal, karena berhasil melumpuhkan dua pencuri motor di rumahnya .
” Ini teladan yang bagus untuk semua warga Surabaya agar juga menjadi polisi untuk lingkungannya sendiri,” kata Iqbal kala itu
Kata-kata Irjen Mohammad Iqbal, sebagai petinggi kepolisian yang saat ini sedang mengemban amanah sebagai Kapolda Riau terasa menyejukkan dan terasa bijak ketika menempatkan Mayor Laut (P) Tunggul Waluyo dalam konteks kamtibmas, sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, yang menyebutkan Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
SIKAP APATIS
Kegiatan masyarakat untuk menciptakan situasi dan kondisi yang aman, tertib, dan tentram di lingkungan masing-masing dan dalam rangka penanggulangan terhadap setiap kemungkinan timbulnya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat memang sudah ada sejak lama, salah satunya adalah Ronda kampung atau Siskamling.
Bahkan Vicente L. Rafael dan Rudolf Mrazek dalam Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam, menduga ronda merupakan kegiatan masyarakat dalam menjaga kamtibmas yang sudah eksis sejak prakolonial.
Begitu pentingnya keterlibatan masyarakat mengambil peran dalam menjaga kamtibmas, Joshua Barker, seorang antropolog dalam “State of Fear: Controlling The Criminal Contagion In Suharto’s New Order ”, yang dimuat dalam jurnal Indonesia No 66, Oktober 1998, juga pernah menuliskan :
“ …siskamling menjadi perpanjangan tangan pengawasan polisi ke dalam lingkup lokal ”
Begitu pentingnya keterlibatan warga masyarakat dalam membantu polisi memerangi kejahatan dan gangguan sosial lainya menjadi alasan Kepala Polisi Awaloedin Djamin, mengimplementasikan konsep kamtimas dalam bentuk pengamanan swakarsa, dari ronda kampung atau siskamling di sektor tradisional hingga industrial security seperti Satuan Pengamanan.
Bahkan untuk membantu fungsi kepolisian dalam menegakkan hukum dan menciptakan kamtibmas, Kepolisian membangun kemitraan dengan masyarakat, dalam wadah yang disebut Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM).
Konon, disaat Jenderal Tito Karnavian menjabat sebagai Kapolri Indonesia personil kepolisian sudah mencapai angka 430 ribu. Angka tersebut merupakan terbanyak nomor dua di dunia setelah China. Bahkan Indonesia diketahui menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memiliki jumlah polisi terbesar dan memenuhi standar PBB yaitu 222 petugas mengawal 100 ribu penduduk.
Hal serupa seperti dilansir Katadata, jumlah personel Kepolisian Republik Indonesia bertambah signifikan dari 27.012 menjadi 470.391 pada 2019, atau mengalami peningkatan 5,7 persen dibanding 2018 yang hanya 443.379 personel.
Tentunya menjadi sebuah keniscyaan dan besarnya harapan, ketika jumlah personel polisi yang begitu besar tentunya diharapkan akan berbanding lurus dengan semakin sempitnya ruang bagi pelaku kejahatan.
Namun demikian jumlah polisi yang fantastis tidak akan ada artinya kalau masyarakat bersikap apatis, karena kejahatan adalah bukan semata tugas kepolisian sebagai garda terdepan penegakan hukum dan penjaga kamtibmas, seperti dikatakan oleh Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto mensikapi kasus penetapan Amaq Sinta sebagai tersangka, sebagaimana diikutip dari antaranews.com ( 6/4/2022), bahwa:
“ (Sebaiknya penyidikan) Hentikanlah menurut saya. Nanti masyarakat jadi apatis, takut melawan kejahatan. Kejahatan harus kita lawan bersama,” katanya.
Sebenarnya konsep transformasi polisi masa depan, melalui “ PRESISI ” ditambah lagi dengan semangat institusi kepolisian untuk memberikan rasa keadilan dengan lebih mengedepankan hukum progresif melalui penyelesaian dengan prinsip keadilan restoratif, yang digagas oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo akan mampu menjadi jawaban terhadap setiap tantangan serta “keragu-raguan“ masyarakat terhadap profesionalisme polisi sepanjang polisi juga tidak pernah menafikan arti penting peran serta masyarakat dalam menjaga kamtibmas.