INDRAMAYU, Koransatu.id – Permainan langkah hukum akhirnya terkuak sangat jelas, siapa yang memainkan dan siapa yang dikorbankan dalam kasus suap pedangdut Saiful Jamil yang telah menjerat mantan panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara Rohadi saat ini kembali menjadi perhatian publik. Dimana, selama ini, terpidana hanya dijadikan tumbal agar otak yang menjadi pelaku utama atau penikmati suap lolos dari jeratan hukum.
Hal itu diungkapkan oleh pengamat hukum pidana korupsi, Mohammad Saleh Gawi yang selama ini terus mengikuti proses persidangan dan konstruksi hukum mantan panitera pengganti Jakarta Utara Rohadi yang saat ini masih menjalani masa hukuman selama tujuh tahun penjara di Lapas Suka Miskin, Bandung, Jawa Barat.
Saleh Gawi mengatakan didalam memori Peninjauan Kembali (PK) kasus Rohadi sudah dijabarkan, bahwa setiap kasus pidana yang melibatkan banyak orang pasti ada otaknya (dalang_red).
Dalam konstruksi kasus Rohadi itu sendiri, kata Saleh, tidak seharusnya terpidana itu dijerat dengan Pasal 12 huruf a karena bukan merupakan otak pelaku utama terjadinya skandal suap kasus Saiful Jamil.
“Jadi begini logikanya, setiap kasus pidana yang melibatkan banyak orang pasti ada otaknya. Harus ada otaknya. Nah, oleh karena itu, ada keinginan Hakim Majelis Pengadilan Tipikor pada Majelis PN Jakarta Pusat meloloskan hakim-hakim sebagai otak, sebagai inisiator, sebagai penerima uang suap agar tidak dijerat hukum. Maka dia harus memunculkan otak pelaku dan akhirnya dibebankan kepada Rohadi,” ungkap Saleh saat dikonfirmasi melalui sambungan teleponnya, Rabu (20/11/2019).
Menurut Saleh, Rohadi selama ini hanya menjadi korban, kendati melakukan kesalahan. Pasalnya, dia memikul beban pidana yang dilakukan oleh atasannya.
“Kalau hakim tidak menjadikan Rohadi sebagai otak dari pelaku pidana, maka Majelis Hakim akan terbebani untuk mencari otak lainnya, karena sebuah tindak pidana yang melibatkan banyak orang mesti ada otak pelakunya. Mereka berniat menyelamatkan hakim-hakim penerima suap itu sehingga membebani otak kepada Rohadi,” ungkapnya.
Saleh menambahkan, pada tingkat Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rohadi divonis dengan hukuman berat dan memikul beban pidana yang melampaui perbuatannya. Sementara para penikmat suap yang menjadi otak itu sendiri masih lolos dari jeratan hukum.
“Dia dihukum dengan Pasal 12 huruf a, sementara perbuatannya dia itu mestinya layak dihukum dengan Pasal 11 UU Tipikor,” ujar Saleh.
Kekeliruan ini, menurut Saleh terjadi secara terang benderang. Pasalnya, dari konstruksi hukumnya, Rohadi saat itu hanya menjadi perantara dan tidak dalam jabatan untuk menentukan hukuman itu berat atau ringan. Dia hanya menghubungkan, bukan sebagai panitera pengganti dan tidak menikmati uang suap. Semua fakta hukum itu sudah dijelaskan secara eksplisit. Itu di setting oleh Bertha, selaku pengacara Saiful Jamil, Rohadi dijadikan sebagai penghubung antara pemberi suap, Bertha itu sendiri dan penerima suap Hakim Ifa dan kawan-kawannya.
“Nah, dalam proses peradilan, hakim itu tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang berkembang, dengan istilahnya Pasal 12 huruf a itu kan pasal keranjang sampah. Jadi setiap kali ada terdakwa korupsi, itu lebih mudah diarahkan ke pasal itu karena hukumannya tinggi,” tukasnya.
Sementara itu, ketika hakim-hakim bisa memberikan vonis berat bagi para terdakwa korupsi maka sosial publik akan menilai mereka hebat dan berhasil.
“Hakimnya diselimuti cara pandang seperti itu, jadi hakim yang menghukum terdakwa korupsi akan semakin tinggi semakin terhormat, padahal perbuatan Rohadi tidak memenuhi kualifikasi untuk dihukum dengan Pasal 12 huruf a,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Saleh meyakini proses Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Rohadi akan disetujui Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Jakarta Pusat dan juga Mahkamah Agung, pasalnya hanya melalui PK inilah kasus itu bisa dibuka kembali dan otak yang menjadi pelaku utamanya bisa dikuak dan ditangkap.
“Saya tegaskan beberapa kali tidak ada alasan Majelis Hakim PK untuk tidak menerima Pknya Rohadi. Pertama karena bukti-bukti sebanyak 33 alat bukti sudah clear, sekaligus bahan hukum yurisprudensi dari kontruksi kasus yang sama yakni putusan Tarmizi dan itu sudah jelas hampir kita mungkin kita beranjak dari logikan hukum jika ditolak sementara PK Tarmizi sudah diterima,” jelasnya.
Saleh menyampaikan, jika ada penolakan dalam PK Rohadi, berarti ada sesuatu institusi mulia yang seharusnya bisa memberikan keadilan bagi masyarakat.
“Kalau menolak ada sesuatu dan dia harus berkorban atas kehancuran institusi keadilan tingkat akhir itu, karena Tarmizi sudah diterima untuk kasus yang sama. Perkara dengan konstruksi yang sama. Kalau mereka tidak terima kan, makin hancur, karena semua sudah tahu dan sudah tersiar secara nasional,” pungkasnya.
Kendati demikian, Saleh mengaku optimis PK Rohadi akan dikabulkan Mahkamah Agung melalui Majelis Hakim PK yang akan dibentuknya.
“Untuk sementara hampir semua orang termasuk ahli, bahkan hakim-hakim MA itu sendiri yang dikomunikasikan secara langsung. Mereka mengatakan bahwa peluang proses PK Rohadi diterima MA 99 persen diterima karena bukti-bukti kuat yang diajukannya,” kata Saleh.
Diketahui sebelumnya pada Kamis (14/11) lalu, Peninjauan Kembali (PK) atas kasus suap hakim dengan terpidana Rohadi kembali disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Permohonan PK itu telah disetujui oleh PN Pusat dan telah ditandatangani berkas PK yang akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) oleh pemohon dan termohon serta Majelis Hakim untuk selanjutnya diajukan ke MA untuk dimintakan pendapat pada Majelis Hakim PK di MA. (Red/Otong.S)