JAKARTA, koransatu.id – Dalam perspektif kebudayaan yang di anut nusantara sedari abad ke XIV sampai hingga bangsa indonesia mencapai puncak kemerdekaannya di bulan Agustus tahun 1945 goro-goro itu selalu terjadi. Praktik devide et empira/adu domba selalu muncul mendarah daging di republik ini, kemunculannya di tenggarai tidak hanya dari eksternal tetapi bisa juga dari internal.
Yang baru terjadi belakangan ini di keraton kasepuhan Cirebon contoh nyata dimana devide et impera tidak hanya terjadi dari kalangan masyarakat biasa. Kejadian ini di tenggarai yang katanya keturunan/silsilah dari keraton kasepuhan Cirebon yang di duga menjadi oknum kisruhnya polemik di dalam keraton. Seyogyanya musyawarah mufakat yang sudah menjadi budaya turun temurun di republik ini harus di tempuh sebagai jalan terakhir dalam menengahi permasalahan yang tidak berkesudahan.
Heru yang mengklaim dirinya adalah jalur silsilah yang sah untuk menggantikan pasca wafatnya PRA Arief Natadiningrat sultan sepuh Cirebon yang belum genap 40 hari di sesali oleh Penggiat Budaya Tubagus Saptani Suria, SE ME melalui sambungan telepon kepada koransatu.id Minggu 23 Agustus 2020.
Menurut Tubagus Saptani, jika memang mengklaim dirinya sebagai keturunan yang sah untuk mengisi kekosongan keraton setidaknya Heru menempuh upaya jalur kekeluargaan setelah 40 hari wafatnya sultan sepuh PRA Arief Natadiningrat. Tidak elok kekisruhan yang di buatnya menjadi momok keonaran dan mencoreng wajah keraton yang dikenal menjunjung, merawat kebudayaan ini harus di lakukan dengan cara-cara yang tidak berbudaya. Membentur-benturkan antar keluarga keraton yang hanya ingin mengejar eksistensi untuk diakui sebagai sultan pengganti setelah wafatnya PRA Arief Natadiningrat adalah praktek tidak terpuji.
Sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan yang otomatis membuat publik menjadi risih tidak ada rasa tentram.
Sebelumnya hal ini terjadi kunjungan wisata religi sekaligus wisata sejarah ke keraton kasepuhan Cirebon ramai pengunjung. Pasca kisruh ini muncul keraton kasepuhan Cirebon yang menjadi salah satu ikon wisata kesejarahan di Jawa Barat menjadi tidak kondusif.
Tubagus Saptani menghimbau kepada pihak pemerintahan Provinsi Jawa Barat juga pihak kepolisian Polda Jawa Barat untuk menjadi penengah atas situasi yang hampir mencekam di tengah-tengah masyarakat.
Peran serta dari semua lapisan masyarakat Jawa Barat khususnya dan umumnya nusantara menjadi ujung tombak untuk melerai polemik yang sedang berlangsung. Sebagaimana para pendahulu di republik ini memberi suri tauladan bahwa dengan menempuh upaya mufakat dalam bermusyawarah. Menanggalkan segala bentuk ego dengan menunjukan rasa empati bahwa segala persoalan dapat di selesaikan dengan duduk bersama dapat tercapai keputusan yang sejuk dengan tujuan yang terbaik di antara kedua belah pihak.
Sebelumnya dari pihak keraton kasepuhan Cirebon (internal) para sesepuh menginginkan persoalan ini di bahas seyogyanya setelah 40 hari wafatnya PRA Arief Natadiningat. Sebagai bentuk penghormatan untuk menghargai kiprah beliau selama ini dan mendo’akan agar jasadnya yang sudah menghadap Sang Pencipta Allah SWT selalu di terima amal baiknya selama di dunia. Harusnya Heru menyadari pasca wafatnya PRA Arief masih ada keluarga besar keraton kasepuhan harus mengajak bicara PRA Luqman Zulkaedin selaku anak kandung hal ini yang tidak di lakukannya. Harapan dari semua masyarakat polemik ini harus kembali seperti sediakala. Jikalau masih ada keturunannya yang sah seyogyanya PRA Lukman yang dapat menggantikan peran ayah kandungnya. Tubagus Saptani kembali berharap semoga tercipta kondusifitas dan menyerahkan sepenuhnya kepada keluarga keraton yang diyakini dapat menghasilkan keputusan yang terbaik. (Red/kusuma)