LAMPUNG, KORANSATU.ID – Pers Indonesia panen kritik. Dinilai kehilangan nyali, menjadi corong penguasa, idealisme dan profesionalismenya meluruh, dan tidak punya semangat investigasi. Pers yang biasanya diidentikkan sebagai “musuh” kekuasaan karena memegang fungsi kontrol, kini dituding menghamba pada kepentingan penguasa. Utamanya politik dan konglomerasi pemilik media.
Jadilah pers hanya sebagai penyebar gimmick, berita-berita penggembira, media ala humas yang isinya hanyalah pejabat gunting pita di sana dan di sini. Bahkan ada yang bilang pers Indonesia di ambang kehancuran. Akankah pers idealis hanya tinggal cerita usang?
Jika melakukan tugasnya dengan benar, pers adalah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia. Pers berfungsi menjaga agar negara dikelola dengan benar. Uang pajak dari rakyat dipergunakan semestinya. Dan memastikan jika suara rakyat di desa terpencil maupun di pulau terasing pun didengar dunia.
Namun realitasnya, melakukan tugas dengan benar bagi para pekerja pers bukan perkara gampang. Tantangannya komplet sekali. Apalagi di negara yang memang hanya
mementingkan kepentingan politiknya, dan tidak punya itikad baik untuk menjaga independensi media dan para jurnalisnya.
Bagaimana serunya tantangan menjalankan tugas jurnalistik mungkin bisa dinikmati visualisasinya lewat tokoh Clark Kent, si manusia baja Superman. Dalam film itu, Clark Kent, manusia super dari Planet Krypton, adalah seorang jurnalis di harian Daily Planet. Yang banyak diyakini sebagai versi fiksi dari The New York Times.
Dan bintangnya adalah Lois Lane, jurnalis perempuan dengan idealisme dan semangat luar biasa. Mereka berdua berkali-kali blusukan ke markas penjahat, menyamar mempertaruhkan nyawa, memburu berita, membongkar kebohongan. Meski harus melawan pemerintahannya sendiri yang banyak menutupi kebenaran, misalnya menyembunyikan keberadaan alien. Betapa berharganya sebuah kebenaran untuk disampaikan kepada publik!
Lane digambarkan pula sebagai jurnalis yang gaya tulisannya sangat berani. Salah satu karyanya yang berjudul Why the World doesn’t need Superman dalam film Superman Returns memenangkan penghargaan Pulitzer. Sebuah penghargaan tertinggi untuk seorang jurnalis. Seperti Academy Award-nya para artis.
Terlepas dari sisi fiksinya, nyatanya film ini menggambarkan runut kerja para jurnalis. Dalam beberapa scene, Clark Kent tampak beradu argumen dengan redakturnya, Perry White, yang memutuskan apakah beritanya layak dimuat atau tidak di koran terbitan esok hari.
Dan Perry White adalah sosok redaktur yang baik. Dia memiliki idealisme dan berpihak pada kebenaran. Setidaknya di film itu. Meskipun koran Daily Planet kemudian dibeli Lex Luthor, konglomerat yang berambisi ingin menguasai dunia, namun White tidak berpihak pada pemilik korannya. Dia bahkan sering menghukum para reporternya yang dinilai berbuat salah, termasuk memberi sanksi pada Lois Lane.
Dan mencari kebenaran tentu saja mengundang resiko, meskipun dalam film. Berkali-kali Lois Lane menghadapi bahaya, dari diculik sampai mau dibunuh. Namun beruntunglah jurnalis cantik itu, karena selalu ada Clark Kent, Superman yang memiliki telinga super dan x-ray vision yang selalu melindunginya. Dan membantunya memperoleh berita-berita headline.
Film produksi DC Comics yang dibikin berseri-seri dan selalu menjadi box office dunia itu memang berhiaskan romansa cinta sang Superman. Clark Kent kemudian menyadari jika Lois Lane, jurnalis tangguh namun sensitif itu adalah cinta sejatinya.
Clark “Superman” Kent dan Lois Lane sebagai jurnalis di film Superman Returns
Meski kemudian cinta kedua jurnalis idealis itu tidak bersatu karena Lane menikah dengan Richard White, keponakan pimpinan redaksi Daily Planet. Tetapi scene saat Kent, manusia yang bisa terbang dengan kecepatan melebihi kecepatan peluru itu menyelamatkan Lane berkali-kali, telah menyegarkan mata penonton.
Tidak Ada Berita Seharga Nyawa
Mari kembali ke alam nyata. Faktanya, tidak ada wartawan yang punya kemampuan sehebat Superman. Di lapangan, pekerja pers justru kerap menjadi korban kekerasan.
Catatan AJI, tahun 2019 ada 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis, yang pelaku kekerasannya didominasi aparat Polri sebanyak 30 kasus, warga 7 kasus, ormas 6 kasus dan sisanya pelaku tak diketahui. Jenis kekerasannya, kekerasan fisik, perusakan alat atau data hasil liputan hingga teror.
Pada 2020, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengungkap, kekerasan menjadi 117 kasus. Jumlah ini tertinggi pasca reformasi, dan menjadi tahun terburuk bagi pekerja pers. LBH Pers merinci, dari 117 kasus itu, 76 kasus kekerasan dilakukan polisi, 2 kasus dilakukan TNI, 5 kasus dilakukan warga atau massa, 4 kasus dilakukan pengusaha. Sisanya sebanyak 12 kasus belum teridentifikasi pelakunya.
Dari segi wilayah, Jakarta mendominasi sebesar 29 kasus diikuti Jawa Timur sebanyak 25 kasus. Bentuk kekerasan yang dialami jurnalis mulai dari intimidasi atau kekerasan verbal sebanyak 51 kasus, penganiayaan 24 kasus, dan perampasan/pengerusakan 23 kasus.
Sejatinya, pekerja pers dilindungi konstitusi dalam aktivitas jurnalistiknya. Sudah ada Undang-Undang Pers yang menjamin itu. Namun di negeri autopilot, apa yang tertulis di undang-undang berbeda dengan kenyataan di lapangan. Aparat yang seharusnya melindungi malah bisa balik jadi ancaman. Jurnalis yang harusnya dilindungi malah bisa pulang ke kantor dengan tubuh babak belur. Bahkan bisa jadi orang hilang berhari-hari.
Karena itulah, di dalam newsroom yang selalu sibuk itu, para pemimpin redaksi berkali-kali harus menekankan pada reporter, fotografer, dan kameramennya, tidak ada berita seharga nyawa. Mereka harus menjaga diri sendiri dan mengutamakan keselamatan pada setiap peliputan.
Belum lagi banyaknya jurnalis yang harus duduk sebagai pesakitan di ruang sidang, atau mendekam di penjara, gara-gara berita yang ditulis atau dimuat medianya.
Di Surabaya, baru-baru ini, wartawan Tempo bahkan sampai diculik dan dianiaya. Pelakunya terang benderang, namun sampai sekarang kasusnya belum ada kejelasan.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, wartawan Muhammad Asrul ditahan selama 36 hari di Polda Sulsel dan diadili di pengadilan gara-gara memberitakan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan di Palopo yang dimuat di Beritanews.com. Asrul dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebuah kasus yang seharusnya ranah sengketa pers, namun kenyataannya diperlakukan sebagai kasus pidana.
Jurnalisme Bukan “One Man Show”
UU Pers sendiri memuat wartawan sebagai “orang”, bukan “karyawan”. Namun kenyataannya, wartawan mau tidak mau adalah karyawan perusahaan media. Yang di Indonesia sudah jamak diketahui kalau pemilik seluruh media arus utama adalah konglomerasi yang tokohnya tidak lebih dari jumlah jari kedua tangan kita.
Celakanya, saat para konglomerat pemilik media terkoneksi dengan kepentingan politik, baik karena menjadi menteri, tokoh partai politik, atau mempunyai kedekatan dengan partai politik tertentu. Simsalabim! Medianya sudah menjadi “kuburan” bagi idealisme pers.
Namun kita tidak bisa menyalahkan para konglomerat yang sebagian besarnya eks jurnalis yang tentunya punya idealisme juga. Karena hal tentang kepemilikan media memang tidak diatur dalam undang-undang kita. Semua warga negara berhak mendirikan media dan kantor berita. Tidak seperti Norwegia yang punya undang-undang yang melarang sebuah korporasi atau personal memiliki dominasi saham di perusahaan media untuk menjaga indepedensi pers mereka.
Jurnalisme bukan “one man show. Karena itu, jika kita bicara tentang idealisme, maka kita juga harus memandang gambaran besarnya. Mengutip Nixon,”Idealism without realism is impotent. Realism without idealism is immoral.”
Adalah sebuah kenaifan jika kita menuding buruk sebuah bunga yang mekar tapi kusam, tanpa meneliti apakah bunga itu cukup disiram atau di mana tempat tumbuhnya, di tanah yang subur atau gersang.
Untuk membentuk pers yang idealis dan kritis, mutlak diperlukan pemerintahan yang bermartabat, parlemen yang berkualitas, dan pebisnis media yang berkomitmen. Perlu aturan main yang jelas untuk mewujudkan itu.
Dan itu bukan tidak mungkin. Norwegia dan Finlandia berhasil melakukannya. Karena itulah keduanya dinobatkan sebagai negara dengan kebebasan pers terbaik dunia. Indonesia sendiri diposisikan ranking 119 soal kebebasan pers versi Reporter Without Borders dari 180 negara yang dipantau.
Namun, tantangan bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi insan pers. Selalu ada jurnalis-jurnalis idealis yang akan menghiasi zaman dengan idealisme dan semangatnya. Seperti halnya para jurnalis pada masa perjuangan dulu; Bung Hatta, HOS Cokroaminoto, Buya Hamka, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara.
Mereka tangguh memegang idealisme, padahal bisa dibayangkan bagaimana tekanan penjajah pada masa itu. Meski keluar masuk penjara adalah harganya.
Mengutip Tan malaka, idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki para pemuda. Meski tidak sehebat Superman, namun pada kaum mudalah benih-benih idealisme harus ditanamkan, dipupuk, dan dikuatkan akarnya.
Kampus adalah tempat terbaik untuk itu. Inilah tantangan para akademisi, untuk mendidik para calon jurnalis muda bukan saja menguasai ilmu, tetapi juga menanamkan karakter tangguh dan bernyali. Menciptakan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli.
Karena kelak, merekalah yang akan menulis berita-berita kebenaran yang akan disampaikan kepada publik. Dan seyogyanya, berita adalah sejarah yang ditulis hari ini. Dan menentukan masa depan. (ONGKI PRATAMA)
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.