JAKARTA, KORANSATU.ID- Potensi gangguan pada Pemilu 2024 bukan berasal dari masyarakat biasa, tapi justru dari elite politik dan lembaga negara yang punya kepentingan politik dan kekuasaan selain kepentingan kelompok.
Demikian disimpulkan dalam diskusi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR dengan tema: “Bersama Menjaga Stabilitas Politik Ditahun Politik” pada hari ini di Gedung DPR, Kamis (8/6).
Diskusi itu menampilkan narasumber Anggota DPR masing-masing Yanuar Prihatin (PKB), Mokhamad Misbakhun (Golkar), Achmad Baidowi (PPP) dan Herman Khaeron (Demokrat) selain pengamat politik Bawono dari Indikator Politik dan pakar politik Boni Hargens.
Menurut Yanuar Prihatin, potensi instabilitas itu terlihat sejak sekarang ketika sejumlah elite politik dan lembaga negara termasuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang cenderung bermain politik. Padahal, pada saat yang sama masyarakat tidak memikirkan hal-hal teknis seperti sistem pemilu terbuka atau proporsional tertutup. Pasalnya, masyarakat sibuk memikirkan beban ekonomi, ujarnya.
“Potensi instabilitas di Pemilu 2024 adalah dari elite yang merasa memiliki kepentingan untuk mempertahankan keadaan serta kekuasan dan mereka yang ingin nengubah keadaan dan kekuasan,” katanya.
Politisi tersebut menambahkan bahwa seharusnya “turbulensi” itu tak boleh mengganggu stabilitas lembaga negara.
Dia mengatakan kalau lembaga negara masuk ke dalam pusaran politik seperti MK maka tidak tertutup kemungkinan DPR akan melakukan perlawanan dengan mengubah tata hubungan dan lembaga negara.
Ada upaya Mahkamah Konstitusi (MK) masuk ke pusaran politik dan perdebatan sistem pemilu bukan lagi bersifat akademis, katanya. Padahal perdebatan itu sudah selesai.
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini adalah bagaimana satu kelompok ingin menguasai permainan dengan menyeret-nyeret lembaga negara.
“Kalau itu yang terjadi maka kita kaji ulang seluruh hubungan lembaga negara. Masak hanya sembilan hakim MK bisa mengubah apa yang sudah diputuskan ratusan anggota DPR, ujarnya.
Sementara itu, Bawono mengatakan, kalau MK memutuskan sistem pemilu proporsional tertutup maka akan ada masalah dengan pertanggungjawaban keuangan.
Menurutnya, sesuai rencana awal penganggaran pemilu dilakukan untuk sistem terbuka sehingga sejumlah peralatan telah disiapkan sesuai sistem yang dipilih.
“Mengubah sistem pemilu yang sudah berjalan membingungkan karena anggarannya berbasis proporsional terbuka,” ujarnya.
Pada bagian lain, Bawono juga sependapat dengan Yanuar bahwa MK telah bermain politik. Pasalnya, lembaga itu tidak mau mengabulkan peninjauan kembali atas satu keputusan (jucidial review) yang menyangkut lembaga itu. “Artinya MK telah bertransformasi menjadi lembaga politik,” katanya. (John)