DENPASAR, KORANSATU.ID–Diundangkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mendorong negara untuk meningkatkan penanganan perempuan dan anak korban kekerasan seksual di dalam satu konsep one stop services atau Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu.
Pemerintah menggandeng semua pihak, termasuk Forum Pengada Layanan (FPL) dalam upaya membangun sinergi dan kolaborasi untuk memperkuat pelayanan penanganan korban kekerasan seksual, perlindungan, hingga pemulihan terintegrasi dan tersebar di seluruh Indonesia.
Menteri PPPA, Bintang Puspayoga menegaskan, kerja kolaboratif selama ini telah berlangsung antara pemerintah dan masyarakat sipil harus di-upayakan untuk semakin baik dan semakin sinergis.
Pihaknya, mendapati adanya kerja sama pemerintah dan masyarakat sipil baik di daerah, akan menghasilkan model pelayanan berkualitas, responsif, cepat dan bahkan mampu mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Dalam acara Konsolidasi Nasional Untuk Mengawal Implementasi UU TPKS dan Munas III Forum Pengada Layanan yang diselenggarakan secara hybrid.
Disampaikan Bintang, diundangkannya UU TPKS menjadikan masyarakat lebih percaya diri untuk melaporkan tindak pidana kekerasan seksual dialami olehnya, maupun kerabat terdekatnya.
Hal ini menjadikan peran petugas keamanan dan pelayanan di berbagai daerah menjadi lebih dibutuhkan, sekaligus dituntut untuk memiliki kesiapan dalam melakukan tindakan penyelamatan.
“UU TPKS telah memberikan pengakuan kuat dan luas akan peran masyarakat, keluarga, dan lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat di dalam pencegahan, penanganan dan pemulihan. Hal ini memperlihatkan, bahwa perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan seksual sesungguhnya memang sebuah pekerjaan yang bersifat gotong royong,” ungkap Menteri PPPA diterima KORANSATU.ID, Sabtu (2/7/2022).
Diharapkannya, lembaga penyedia layanan juga bisa ikut berjuang membangun jejaring yang luas, baik di tengah masyarakat maupun dengan perangkat daerah sambil terus mengembangkan inovasi-inovasi pelayanan.
Karena Forum Pengada Layanan adalah salah satu wadah untuk saling mendialogkan tantangan yang dihadapi dan berbagai praktek, baik didalam memberikan pelayanan yang optimal, bagi korban kekerasan khususnya perempuan dan anak.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri KemenPPPA, Titi Eko Rahayu mengungkapkan, upaya telah dilakukan Kementerian dalam mengimplementasikan UU TPKS salah satunya, telah melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah.
Mulai dari gubernur, bupati dan walikota dalam menghadirkan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, serta melakukan kunjungan langsung kepada sejumlah unit pelayanan teknis daerah guna melakukan simulasi dan menguji kesiapan pelayanan one stop services, sebagaimana dirumuskan dalam UU TPKS.
Hal yang sama, Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani memberikan apresiasi peran pemerintah dalam mendorong diundangkannya UU TPKS, sebagai payung hukum perlindungan bagi korban kekerasan yang telah dinantikan.
Lanjutnya, telah disampaikanya lima usulan prioritas tindak lanjut UU TPKS untuk mengoptimalkan implementasi di lapangan.
Usulan pertama, peningkatan kapasitas bagi pendamping melalui pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan, ke-dua, koordinasi intensif dilaksanakan sebagai konsep layanan terpadu, selain dari mekanisme rujukan.
Lalu ke-tiga, upaya pencegahan melalui cara kreatif di lingkungan masyarakat dan ke-empat, advokasi kebijakan melalui menghimpun hasil pembelajaran, sehinga dapat digunakan untuk masukan kebijakan peraturan turunan UU TPKS baik di tingkat nasional maupun di daerah
Sedangkan ke- lima, penguatan FPL sebagai motor gerakan pengada layanan dan memastikan dukungan bagi perempuan pembela HAM.
Hal senada juga dilanjutkan Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta, Siti Mazumah dinyatakan, pentingnya meningkatkan kemampuan untuk memberikan pendampingan bagi korban, sesuai dengan diamanatkan dalam UU TPKS mengenai sertifikasi bagi pendamping dan khususnya dalam hal ini, adalah masalah dalam pendampingan hukum. (Guffe).