JAKARTA, Koransatu.id – Memasuki jaman Milenial atau Dunia Digital/Teknologi yang semakin canggih sekarang ini, tidak bisa di pungkiri masalah kejahatan di bidang mata uang digital atau Cryptocurrency online semakin tinggi.
Oleh karena itu, Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kejaksaan RI menyelenggarakan pelatihan terpadu antar negara terkait masalah kejahatan Cryptocurrency atau mata uang digital di mana transaksinya dapat dilakukan dalam bentuk jaringan online di Badiklat Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Selasa (1/10/19).
Kegiatan ini merupakan bentuk konkret dari Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerjasama antara Kejaksaan RI dengan berbagai Kejaksaan di luar negeri terkait kejahatan Cryptocurrency.
Menurut Wakil Jaksa Agung RI, Arminsyah, kegiatan Diklat Terpadu Antar Negara ini sangat bermafaat dalam mengantisipasi perkembangan kejahatan masalah Cryptocurrency. Sehingga dapat di wujudkan system penegakan hukum yang sinergis dan berdampak dalam lingkup nasional, regional, maupun internasional. Hal ini juga sekaligus memberikan pesan kepada para pelaku kejahatan, bahwa penegakan hukum tidak boleh dikalahkan oleh adanya sekat-sekat perbedaan sistem hukum dan yurisdiksi.
“Sebaliknya, keanekaragaman sistem hukum adalah kekuatan yang besar bila kita kelola dengan baik dan dioptimalkan melalui kerjasama dan koordinasi intensif yang kita lakukan bersama,” ujarnya.
Pemilihan materi diklat mengenai “cryptocurrency”, tambahnya, merupakan pilihan yang tepat, kontekstual, dan relevan seiring dengan semakin meningkatnya penggunaan internet dan teknologi informasi yang telah mempengaruhi dan mengubah lanskap tata ruang ekonomi, sosial, budaya, politik bahkan peradaban umat manusia.
Dewasa ini, perkembangan cryptocurrency semakin masif mengguncang layanan keuangan dan sistem pembayaran global. Tercatat sekitar 1300 mata cryptocurrency beredar di dunia.
Penggunaan cryptocurrency yang semakin masif, tidak hanya menimbulkan dampak yang positif, namun juga berkorelasi dengan tumbuhnya kegiatan ilegal, seperti pencucian uang, transfer dana narkotika, pendanaan teroris, tindak pidana korupsi dan penggelapan pajak.
“Tidak jarang perkembangan cryptocurrency juga seringkali dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai alat atau sarana dalam melakukan kejahatan,” kata Arminsyah.
Kejahatan menggunakan sarana cryptocurrency tidak hanya berdampak kepada negara yang melegalkan, namun juga kepada negara lain yang melarangnya mengingat jaringannya yang tanpa sekat, batas, dan bersifat global.
Apalagi, cryptocurrency crime saat ini berkembang semakin signifikan, meskipun penyalahgunaan mata uang virtual ini masih belum diketahui. Nilai pasarnya pada tahun 2018 dilaporkan telah melebihi EUR 7 miiliar di seluruh dunia.
Berdasarkan hal tersebut, lanjut Arminsyah, tidak ada waktu lagi bagi penegak hukum untuk diam atau berleha-leha. Perkembangan teknologi dan kejahatan cryptocurrency akan selalu tumbuh, meninggalkan setiap siapa yang terlambat untuk mengantisipasi dan mengadopsinya.
“Kejahatan cryptocurrency yang bersifat lintas negara haruslah dipandang sebagai musuh bersama (common enemy). Oleh karenanya tidak dapat disikapi maupun dihadapi secara parsial oleh masing-masing negara melainkan haruslah dicegah, diperangi, dan diberantas secara holistik dan bersama-sama,” tukasnya.
Ia berharap, para peserta diklat tidak hanya sekadar bertukar informasi, wawasan, dan pengalaman, namun juga koordinasi dan kerjasama sinergis antar negara dalam mencegah dan memberantas kejahatan yang menggunakan media cryptocurrency.
Sementara itu, Kepala Badan Pendidikan dan Latihan (Kaban Diklat) Kejaksaan RI, Setia Untung Arimuladi mengatakan, adapun tujuan dan sasaran kegiatan untuk menambah wawasan tentang sistem pembayaran dengan cryptocurrency serta bagaimana sistem pengawasan bagi masing masing negara. Disamping menjalin kerja sama yang erat antar instansi baik dalam dan luar negeri dalam pengawasan dan penindakan terhadap kejahatan tersebut.
Sementara sasaran yang diharapkan tersedianya aparat penegak hukum yang memiliki pengetahuan untuk menghadapi tantangan dan hambatan di dalam penanganan masalah cryptocurrency serta kemungkinan kerjasama antar negara.
“Metode pembelajaran dalam Diklat Terpadu ini adalah mendengarkan pemaparan dari nara sumber, diskusi kelas, sharing pengalaman peserta, dan kunjungan,” kata Untung.
Diklat yang berlangsung hingga 5 Oktober 2019 ini diikuti sebanyak 16 Kepala Kejaksaan Negeri, utusan negara Singapura dan Hongkong, Thailand serta instansi terkait Polri, Dirjen Pajak serta dari Otjen TNI. (Red/Ben)