Beberapa hari ini timbul kegaduhan dimasyarakat berkaitan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XIX/2021, tanggal 31 Agustus 2021, yang konon katanya telah mensahkan Debt Collector untuk mengambil paksa ( eksekusi ) atas kendaraan leasing yang menunggak tanpa melalui proses pengadilan, bahkan putusan tersebut telah disalah artikan seakan-akan menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, tertanggal 6 Januari 2020, yang sudah putus sebelumnya.
Hal ini merujuk pada halaman 83 paragraf 3.14.3, yang menjelaskan syarat agar perusahaan pembiayaan dapat menyita sertifikat jaminan fidusia tanpa putusan PN adalah debitur harus mengakui terlebih dahulu bahwa ada wanprestasi. Dengan begitu, kreditur bisa mengeksekusi langsung sertifikat tersebut.
Seperti diketahui, terkait keluar putusan terbaru Mahkamah Konstitusi ini diawali dari gugatan Joshua Michael Djami, seorang kolektor internal di perusahaan leasing, yang mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 15 Ayat 2 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, khususnya terkait dengan kejelasan hukum tentang proses eksekusi objek jaminan fidusia.
Bahkan Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi memaknai bahwasanya pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui putusan Pengadilan Negeri hanya sebagai alternatif atau bukan kewajiban. Hal ini berarti eksekusi bisa dilakukan tanpa pengadilan
Tak pelak khabar “ melegalkan “ Aksi premanisme para Debt Collector yang melakukan penarikan paksa kendaraan dijalanan dengan disertai ancaman dan bahkan terkadang diiringi dengan kekerasan merebak dengan cepat melalui media sosial, sehingga masyarakat menjadi resah dan ketakutan.
Dikalangan praktisi hukumpun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, menjadi perbincangan hangat dan menggugah kekhawatiran. Kalau memang benar adanya lalu dimanakah nantinya wibawa negara hukum? yang seharusnya menempatkan hukum sebagai panglima.
Usut punya usut, ternyata majelis hakim Anwar Usman, Aswanto, Daniel Yusmic P Foekh, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin secara bulat dalam amar putusan pada 31 Agustus 2021 kemarin dalam pokok perkaranya menolak permohonan judicial review tentang UU Jaminan Fidusia yang diajukan Joshua dan justru menguatkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, tertanggal 6 Januari 2020, yang sudah final dan banding.
Keresahan masyakat memang bukan tanpa alasan, bila melihat fenomena aksi premanisme Debt Collector dijalanan sampai saat ini masih saja marak terjadi. Sampai-sampai elit politik, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo ikut geram melihat sepak terjang para Debt collector atau mata elang, dan meminta kepada aparat kepolisian menindak Tegas Aksi Premanisme Debt Collector, termasuk juga Perusahaan Leasingnya.
Bahkan walaupun Kepolisian telah berulangkali mengultimatum kepada Debt Collector untuk tidak menjadi “hakim” Jalanan, dengan melakukan penarikan paksa ( baca : “perampasan” ) terhadap kendaraan, yang sering kali meresahkan masyarakat dan berpotensi menganggu keamanan dan ketertiban masyarakat namun toh tak membuat ciut nyali para Debt Collector.
Terakhir yang lagi viral di sosial media, peristiwa Perampasan oleh Debt Collector terhadap driver ojol yang terjadi di Jalan Meruya Ilir, Jakarta Barat Senin siang ( 6 /9/2021) yang lalu, hingga melalui tayangan video driver ojol harus terseret bergelayutan demi mempertahankan kendaraannya.
Belum lagi aksi premanisme Debt Collector juga masih banyak yang belum tersentuh hukum, dikarenakan dalam melaksanakan aksinya Debt Collector ada indikasi sengaja mengaburkan kedudukan hukumnya, dengan tidak mau menunjukkan identitas diri, maupun surat kuasa serta surat tugas dari perusahaan leasing yang menggunakan jasanya.
Seringkali yang menjadi alasan pelaksanaan eksekusi sepihak yang dilakukan para Debct Collector, dikarenakan debitur telah ingkar janji (wanprestasi) atas kewajibannya kepada perusahaan leasing, namun demikian apapun alasannya, cara para Debt Collector dengan menghentikan dan merampas kendaraan yang terkadang dengan kekerasan di jalanan selain tidak memiiliki landasan hukum tentunya tidak dibenarkan oleh hukum.
Padahal terkait dengan penyelenggaraan eksekusi fidusia ini, Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, telah menegaskan :
” Penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri’.
Selanjutnya Menteri Keuangan juga telah menerbitkan peraturan yang melarang perusahaan leasing untuk tidak menarik secara paksa dari nasabah yang menunggak pembayaran kredit kendaraan yaitu PMK No 130/PMK/010/2012 tentang Pendaftaran Fidusia bagi perusahaan pembiayaan.
Begitupun secara tegas dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia, Nomor 35/POJK.05/2018 Tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Kreditur telah mensyaratkan perusahaan leasing untuk bekerjasama dengan pihak lain dalam melaksanakan fungsi penagihan, dengan syarat bahwa pihak lain tersebut berbentuk badan hukum, memiliki izin dari instansi berwenang dan pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan.
Namun disisi lain, Perusahaan Leasing melalui pihak eksternal ( baca : Debt Collector ) melakukan penarikan paksa secara sepihak masih menggunakan dalih Pasal 15 ayat (2) dan ayat ( 3 ) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia), yang sebenarnya telah dilakukan uji materi ( judicial review di Mahkamah Konstistusi, Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, yang frasanya berbunyi :
“….terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitor keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap “.
Frasa inilah yang seringkali dimaknai berbeda oleh Perusahaan leasing yang seakan-akan dengan “ Hak eksekutorial ” sudah cukup alasan untuk melakukan eksekusi sepihak karena sertifikat jaminan Fidusia dianggap telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde)”
Padahal frasa diatas, seharusnya dapat dimaknai bahwa kreditur tidak harus membuktikan perbuatan wanprestasi yang dilakukan debitur terlebih dahulu namun tinggal mengajukan pelaksanaan eksekusi sesuai prosedur pelaksanaan suatu putusan pengadilan, sebagaimana diatur pada Bagian 5 Pelaksanaan Putusan Hakim pasal 195 jo. 196 HIR (Herzien Indonesia Reglemen), dimana kreditur harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dilaksanakan eksekusi atas benda jaminan berdasarkan titel eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut.