
DALAM pemberitaan yang menyangkut tentang anak di bawah umur, media massa diharapkan dapat menuliskannya sesuai kaidah Pedoman Pemberitaan Ramah Anak [PPRA] dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sehingga output positif dari media tersebut ikut mencerdaskan masyarakat.
Demikian dikatakan Fatahilah Harahap, Asisten Deputi Partisipasi Media Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di hadapan wartawan dari berbagai media massa yang mengikuti Pelatihan Jurnalistik Perspektif Gender dan Ramah Anak di Bogor, Jawa Barat, pada Rabu sampai Kamis (19-20/06/2019).
Lebih lanjut Fatahilah menerangkan, bahwa kaidah PPRA dan UU SPPA bertujuan melindungi perempuan dan anak dari korban kekerasan sehingga tidak lagi menjadi korban berikutnya karena identitas mereka dibuka secara gamblang oleh media.
“Seperti identitas nama, alamat, dan wajah, perempuan atau anak yang menjadi korban kekerasan harus dilindungi dengan tidak membukanya di media massa. Kami harap media massa menyensor beritanya secara baik dan menghormati hak para korban kekerasan,” terang Fatahilah.
Untuk itu KPPPA mengajak media massa dan insan pers untuk menyampaikan informasi positif tentang perempuan dan anak. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan menggandeng Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sebagai organisasi profesi tertua dan terbesar PWI diharapkan bisa menjadi motor penerapan PPRA di kalangan anggotanya.
Isu-isu gender dan anak, kata Fatahilah, masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Supaya implementasi perlindungan anak dan perempuan terealisasi, Kementerian PPPA sampai-sampai membentuk Asisten Deputi Partisipasi Media pada Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat.
Sementara Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat Kamsul Hasan mengatakan, pelatihan bagi para wartawan ini sebagai sosialisasi aturan PPRA, produk terbaru Dewan Pers yang disahkan tanggal 9 Februari 2019 di Surabaya saat Hari Pers Nasional (HPN) bersamaan dengan MoU Dewan Pers dan KPPPA.
“Pelatihan ini sangat penting untuk melindungi wartawan dari jeratan hukum UU SPPA. PPRA Dewan Pers menjadi rambu bagi para wartawan agar tidak terjerat ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta berdasarkan UU SPPA.,” terang Kamsul.
Dengan adanya pelatihan ini, Kamsul berharap, pengetahuan tentang berbagai peraturan terkait pemberitaan anak dan perempuan juga menjadikan wartawan sebagai advokasi atau pendamping anak bermasalah dengan hukum.
Kamsul juga mengingatkan, bahwa media massa yang mengekploitasi perempuan korban, anak korban, dan anak pelaku, bisa diadukan ke Dewan Pers.
“Wartawan tersebut bisa terancam penjara berdasarkan pasal 19 ayat 1 dan 2 UU SPPA nomor 11 tahun 2012, sementara media massa dilindungi UU 40 Tahun 1999 Tentang Peraturan Dewan Pers. Karenanya, wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya wajib hukumnya mematuhi PPRA,” terangnya mengingatkan.[kdr]